Dalam dunia investasi, pertimbangan tentang kondisi makro ekonomi sebuah negara merupakan sesuatu yang sangat penting dan tak boleh diabaikan. Kondisi makroekonomi ini mempengaruhi harga instrumen investasi. Kondisi makro yang dimaksud misalnya peringkat surat utang Indonesia, perubahan laju inflasi dan bunga acuan, nilai cadangan devisa, fluktuasi harga minyak, rasio utang terhadap GDP, dan lain sebagainya.
Berikut pembahasan singkatnya:
Inflasi dan Bunga
Inflasi adalah kenaikan harga barang secara umum. Sedangkan BI rate merupakan bunga yang menjadi acuan bagi industri perbankan dalam menetapkan bunga deposito dan pinjaman.
Jika inflasi terlalu tinggi, BI akan mengerek naik BI rate. Di atas kertas, kenaikan BI rate akan diikuti dengan kenaikan bunga kredit bank.
Imbasnya, kegiatan produksi akan berkurang karena tingkat permintaan terhadap barang akan merosot. Untuk mengimbangi penurunan permintaan, produsen akan memangkas harga barang. Mekanisme yang sebaliknya akan terjadi ketika inflasi terlalu rendah dan bunga diturunkan.
Pada saat inflasi tinggi dan tren bunga naik, investor yang rasional akan memilih produk deposito yang menawarkan imbal hasil lebih tinggi dibandingkan instrumen lainnya, seperti saham dan obligasi. Akibatnya, harga saham dan obligasi, termasuk reksadana, akan menukik.
Sebaliknya, pada saat inflasi rendah dan tren bunga rontok, investor akan berpaling ke saham dan obligasi yang memberikan return yang lebih tinggi daripada deposito. Permintaan saham, obligasi dan reksadana pada gilirannya mendorong kenaikan harga ketiga instrumen investasi ini.
Penentu BI rate
BI rate bukanlah satu-satunya instrumen moneter yang digunakan BI untuk mengendalikan laju inflasi. Demikian pula, inflasi bukan satu-satunya pertimbangan BI dalam menetapkan besaran BI rate. Pertimbangan lainnya meliputi:
Kondisi ekonomi negara yang ditentukan oleh indikator seperti Produk Domestik Bruto (PDB) dan cadangan devisa. Kondisi ekonomi dikatakan sehat jika memiliki penghasilan yang terus bertambah (PDB positif), utang tidak banyak (rasio utang terhadap PDB rendah), dan memiliki simpanan untuk kondisi yang tidak pasti di masa mendatang (devisa bernilai besar).
Kestabilan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing. BI rate yang tinggi akan mengundang arus masuk dana asing alias hot money dengan deras. Situasi ini akan memperkuat nilai tukar rupiah. Demikian pula sebaliknya.
Selisih (spread) antara BI rate dengan bunga acuan di Amerika Serikat, Fed funds rate. Semakin besar selisih kedua bunga ini, semakin menarik Indonesia di mata investor global. Jadi, jika AS menaikkan bunga sementara BI rate tetap, maka pesona Indonesia sebagai tujuan investasi bakal surut.
Peringkat surat utang Indonesia. Peringkat surat utang menunjukkan kualitas kemampuan negara dalam melunasi kewajiban. Negara yang berperingkat utang tinggi memiliki daya tawar untuk mendapatkan tingkat bunga yang lebih rendah.
Dari tulisan tersebut dapat disimpulkan bahwa data makroekonomi yang paling relevan dalam pengambilan keputusan investasi adalah tingkat inflasi dan BI rate. Yang juga harus dipahami investor adalah bahwa kenaikan BI rate dan inflasi akan berdampak negatif pada iklim investasi. Sebaliknya, penurunan BI rate dan inflasi akan berdampak positif terhadap kegiatan investasi.
No comments:
Post a Comment
Silakan tinggalkan komentar / kritik / saran Anda di bawah ini...