Seperti telah saya kemukakan pada tulisan sebelumnya (Memulai Bisnis Baru) , salah satu penghalang terbesar di dalam memulai bisnis atau usaha baru adalah ketakutan atau kekhawatiran. Ketakutan ini menjadikan seseorang menjadi "kalah sebelum bertanding". Mereka merasa ditakdirkan untuk kalah sehingga tidak punya keyakinan menang. Terlalu banyak ketakutan yang ada dalam pikiran mereka, misalnya:
Bagaimana kalau saya tidak mampu menciptakan produk atau jasa yang diinginkan konsumen?
Bagaimana kalau dagangan saya tidak laku?
Kalau bisnis saya merugi, bagaimana nasib anak dan istri saya?
Dari mana saya mendapatkan modal?
Bagaimana komentar teman-teman kalau saya membuka usaha ini?
Daftar pertanyaan pesimistik ini bisa diperpanjang menjadi ratusan halaman. Intinya bukan terletak pada aspek-aspek teknis yang menjadi isi pertanyaan itu. Intinya terletak pada diri sang calon enterpreneur itu sendiri. Enterpreneur sejati yang bermental pemenang telah menyiapkan jawaban-jawaban bagi mereka sendiri. Sedangkan yang bermental pesimistik biasanya mengharapkan jawaban-jawaban dari orang lain.
Kalau dicermati lebih mendalam, segala ketakutan itu berpusat pada satu hal, yaitu resiko kegagalan. Seringkali kita bersikap sangat konservatif terhadap resiko yang berkaitan dengan uang. Tapi tak jarang diantara kita yang tak segan mengambil resiko yang berkaitan dengan nyawa mereka sendiri. Diantara mereka yang enggan berbisnis karena takut merugi, ada yang punya kebiasaan ngebut di jalanan. Lucu bukan? Takut kehilangan uang karena gagal berbisnis, tetapi tidak takut kehilangan nyawa di jalanan?
Kita bisa menganalisis ketakutan untuk berbisnis itu dari berbagai sudut pandang, terutama psikologi dan budaya. Dari sisi psikologi, pesimisme itu mencerminkan adanya inferiority complex. Mereka merasa inferior, tidak berarti, kecil, miskin, tidak berguna bagi orang lain, dan seterusnya. Masalah di balik inferiority complex yang harus segera diatasi adalah rendahnya kepercayaan diri (self-confidence).
Masalah ini bisa diatasi dengan mengubah sudut pandang Anda terhadap bisnis itu sendiri. Jangan merasa terhina kalau Anda harus berjualan sesuatu, atau harus merintis bisnis pada suatu bidang. Justru itu harus dipahami sebagai "panggilan" untuk memainkan peran Anda lebih baik dalam kehidupan ini.
Dari sisi kultural, masyarakat kita memang belum terkategori sebagai enterpreneur society atau masyarakat wirausahawan. Masyarakat kita masih bercorak masyarakat ambtenaar, dimana penghormatan sosial tertinggi diberikan kepada pegawai negeri. Lihat saja fenomena pendaftaran untuk menjadi pegawai negeri. Peminatnya membludak. Bahkan, ada yang rela membayar Rp 50 juta hanya untuk menjadi seorang pegawai negeri. Kalangan pengusaha dianggap sebagai orang yang hanya peduli pada keuntungan finansial, dan karena itu mereka dianggap lebih rendah kastanya ketimbang pegawa negeri atau priyayi.
Akan tetapi, zaman telah berubah. Tak selamanya corak masyarakat ambteenar dapat bertahan. Era informasi memberi kontribusi nyata untuk mengangkat citra kalangan pebisnis. Di kota-kota besar, pengusaha telah menjadi cita-cita lebih banyak anak usia sekolah. Kisah sukses pengusaha-pengusaha besar dibaca dengan kagum.
Di masa depan ukuran kesejahteraan manusia buakn lagi tergantung pada berapa penghasilan seseorang, tapi waktu luang yang Anda nikmati bagi keluarga Anda. Anda akan lebih bebas menyalurkan minat dan kesenangan Anda, lebih leluasa mendampingi anggota keluarga, dan semakin berbahagia. Dan jalur tercepat menuju ke arah itu adalah melalui bisnis.
Memang, banyak orang akan mencibir ketika mendengar ide Anda untuk memulai bisnis sendiri. Mereka berpendapat, teori sih gampang tapi prakteknya bukan main sulitnya. Cibiran ini ada benarnya juga. Memang bisnis selalu tidak semudah memikirkannya. Namun bukankah berpikir itu sendiri sudah menjadi tahap awal untuk memulai bisnis?
Setiap orang pasti mempunyai beberapa keahlian. Bagaimana melihatnya? Pertama, kenali diri sendiri. Kedua, sadari bahwa setiap pekerjaan selalu ada tiga domain: manusia, data dan peralatan. Tinggal pilih, Anda ada dimana? Kunci penting lainnya adalah menyenangi apa yang dilakukan, betapapun beratnya.
Seperti juga telah saya kemukakan pada tulisan tentang ikan yang pesimis, berikut ada contoh lain betapa cara kita berpikir akan sangat berpengaruh pada cara kita bertindak. Gede Prama pernah berkisah tentang anak burung elang yang diasuh oleh induk ayam. Apa yang terjadi? Si anak elang ini tidak bisa terbang karena dalam pikirannya ia adalah seekor anak ayam. Ya, pikiran dapat mendeterminasi hasil dari serangkaian tindakan.
Anda masih tidak percaya? Coba buktikan tips kecil berikut ini. Mintalah seorang teman Anda berdiri tegak dan memejamkan mata di depan Anda. Kemudian mintalah dia mengangkat lurus kedua tangannya ke samping setinggi pundak . Setelah itu, mintalah teman Anda untuk berkonsentrasi pada kata "LEMAH". Coba Anda turunkan kedua tangan orang itu. Dia akan menurunkan tangannya dengan ringan.
Sekarang, ulangi lagi dan minta ia berkonsentrasi pada kata "KUAT". Coba lagi Anda turunkan kedua tangan orang itu. Apa yang terjadi? Semakin kuat Anda menurunkan tangannya, semakin kuat pula ia akan bertahan.
DUA KATA SEDERHANA – DUA HASIL YANG SANGAT BERBEDA!
Jika kata begitu kuat pengaruhnya, pikirkanlah apa yang akan terjadi jika Anda menyebut diri sendiri "bodoh" atau yang lebih buruk lagi.
Semoga bermanfaat...
No comments:
Post a Comment
Silakan tinggalkan komentar / kritik / saran Anda di bawah ini...